Jumat, 13 Maret 2015

History of Gulai

Gulai


From Wikipedia, the free encyclopediaVariations[edit]
Gulai is originated in Sumatra, Indonesia and is thought to be the local adaptation of Indian curry, developed and derived from Indi
Gulai ayam.JPG
Gulai

Chicken gulai
CourseMain
Place of originIndonesia
Region or stateSumatra
Serving temperatureHot and room temperature
 Cookbook:Gulai   Gulai
Gulai is a type of food containing rich, spicy and succulent curry-like sauce commonly found in Indonesia and Malaysia. The main ingredients might be poultrybeefmutton, various kinds of offals, fish and seafoods, and also vegetables such as cassava leafs and unripe jackfruit. The gulai sauces commonly have a thick consistency with yellowish color because of the addition of ground turmeric. Gulai sauce ingredients consist of rich spices such as turmericcoriander,black peppergalangalgingerchilli peppershallotgarlicfennellemongrasscinnamon and caraway, ground into paste and cooked in coconut milk with the main ingredients.[1] Gulai is often described as an Indonesian type of curry,[2]although Indonesian cuisine also recognize kari or kare (curry).
an influence on Indonesian cuisine. The dish is popular and widely served in the Indonesian archipelago, especially in SumatraJava and also Malay peninsula and Borneo. The thick and yellowish gulai sauce is one of the most common sauces in Minangkabau cuisine, to gave a rich and spicy taste to meats, fish, or vegetables. The gulai sauce found in Minangkabau, Aceh, and Malay cuisine usually has a thicker consistency, while the gulai inJava is thinner, served in soup-like dishes containing pieces of mutton, beef or offal.
Gulai is usually served with steamed rice, however, some recipes such as goat or mutton gulai might be served with roti canai.
Some variations of Indonesian gulai according to its ingredients:

History of Opor Ayam

Opor ayam

From Wikipedia, the free encyclopedia
Opor ayam
Opor Ayam Telur Pindang.JPG
Opor Ayam, braised chicken in coconut milk
Place of originIndonesia
Region or stateJawa TengahJawa Timur
Main ingredientsChicken and coconut milk
 Cookbook:Opor ayam   Opor ayam
Opor ayam is a chicken cooked in coconut milk from Indonesia, especially from Central Java.[1] Spice mixture (bumbu) include galangal, lemongrass, cinnamon, tamarind juice, palm sugar, coriander, cumin, candlenut, garlic, shallot, and pepper.[2] Opor ayam is also a popular dish for lebaran or Eid ul-Fitr, usually eaten with ketupat and sambal goreng ati(beef liver in sambal).

Sejarah Rendang

Rendang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rendang
Rendang daging sapi asli Padang.JPG
Rendang daging sapi yang tengah dihidangkan dengan ketupat
Informasi
Nama lain Rendang Padang
Asal Indonesia
Daerah Sumatera Barat
Pencipta Orang Minangkabau
Penyajian dan bahan
Tahapan Utama
Suhu penyajian Panas atau suhu ruangan
Bahan utama Daging sapi, santan kelapa, cabai, bumbu
Variasi Rendang ayam, rendang itik (bebek), rendang hati sapi
Rendang atau randang adalah masakan daging bercita rasa pedas yang menggunakan campuran dari berbagai bumbu dan rempah-rempah. Masakan ini dihasilkan dari proses memasak yang dipanaskan berulang-ulang dengan santan kelapa. Proses memasaknya memakan waktu berjam-jam (biasanya sekitar empat jam) hingga kering dan berwarna hitam pekat. Dalam suhu ruangan, rendang dapat bertahan hingga berminggu-minggu. Rendang yang dimasak dalam waktu yang lebih singkat dan santannya belum mengering disebut kalio, berwarna coklat terang keemasan.
Rendang dapat ditemukan di Rumah Makan Padang di seluruh dunia. Masakan ini populer di kalangan masyarakat Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Thailand. Di daerah asalnya, Minangkabau, rendang disajikan dalam berbagai upacara adat dan perhelatan istimewa. Meskipun rendang merupakan masakan tradisional Minangkabau secara umum, masing-masing daerah di Minangkabau memiliki teknik memasak dan penggunaan bumbu yang berbeda.
Pada tahun 2011, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.[1]

Kandungan bahan dan cara memasak

Rendang adalah masakan yang mengandung bumbu rempah yang kaya. Selain bahan dasar daging, rendang menggunakan santan kelapa (karambia), dan campuran dari berbagai bumbu khas yang dihaluskan di antaranya cabai (lado), serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, bawang merah dan aneka bumbu lainnya yang biasanya disebut sebagai pemasak. Keunikan rendang adalah penggunaan bumbu-bumbu alami, yang bersifat antiseptik dan membunuh bakteri patogen sehingga bersifat sebagai bahan pengawet alami. Bawang putih, bawang merah, jahe, dan lengkuas diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat.[2] Tidak mengherankan jika rendang dapat disimpan satu minggu hingga empat minggu.
Proses memasak rendang asli dapat menghabiskan waktu berjam-jam (biasanya sekitar empat jam), karena itulah memasak rendang memerlukan waktu dan kesabaran.[3] Potongan daging dimasak bersama bumbu dan santan dalam panas api yang tepat, diaduk pelan-pelan hingga santan dan bumbu terserap daging.[4] Setelah mendidih, apinya dikecilkan dan terus diaduk hingga santan mengental dan menjadi kering. Memasak rendang harus sabar dan telaten ditunggui, senantiasa dengan hati-hati dibolak-balik agar santan mengering dan bumbu terserap sempurna, tanpa menghanguskan atau menghancurkan daging. Proses memasak ini dikenal dalam seni kuliner modern dengan istilah 'karamelisasi'. Karena menggunakan banyak jenis bumbu, rendang dikenal memiliki citarasa yang kompleks dan unik.

Makna budaya


Rendang adalah salah satu hidangan hantaran dalam upacara adat Minang.
Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatera Barat,[5] yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu:
  1. Dagiang (daging sapi), merupakan lambang dari "Niniak Mamak" (para pemimpin Suku adat)
  2. Karambia (kelapa), merupakan lambang "Cadiak Pandai" (kaum Intelektual)
  3. Lado (cabai), merupakan lambang "Alim Ulama" yang pedas, tegas untuk mengajarkan syariat agama
  4. Pemasak (bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perhelatan istimewa, seperti berbagai upacara adat Minangkabau, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Dalam tradisi Melayu, baik di Riau, Jambi, Medan atau Semenanjung Malaya, rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan dalam kenduri khitanan, ulang tahun, pernikahan, barzanji, atau perhelatan keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Qurban.

Sejarah


Rumah Makan Padang mempopulerkan rendang ke seluruh penjuru Nusantara.
Asal-usul rendang ditelusuri berasal dari Sumatera, khususnya Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, rendang sudah ada sejak dahulu dan telah menjadi masakan tradisi yang dihidangkan dalam berbagai acara adat dan hidangan keseharian. Sebagai masakan tradisi, rendang diduga telah lahir sejak orang Minang menggelar acara adat pertamanya. Kemudian seni memasak ini berkembang ke kawasan serantau berbudaya Melayu lainnya; mulai dari Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri seberang di Negeri Sembilan yang banyak dihuni perantau asal Minangkabau. Karena itulah rendang dikenal luas baik di Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Sejarawan Universitas Andalas, Prof. Dr. Gusti Asnan menduga, rendang telah menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang mulai merantau dan berlayar ke Malaka untuk berdagang pada awal abad ke-16. “Karena perjalanan melewati sungai dan memakan waktu lama, rendang mungkin menjadi pilihan tepat saat itu sebagai bekal.”[6] Hal ini karena rendang kering sangat awet, tahan disimpan hingga berbulan lamanya, sehingga tepat dijadikan bekal kala merantau atau dalam perjalanan niaga.
Rendang juga disebut dalam kesusastraan Melayu klasik seperti Hikayat Amir Hamzah yang membuktikan bahwa rendang sudah dikenal dalam seni masakan Melayu sejak 1550-an (pertengahan abad ke-16).
10:4 ... Buzurjumhur Hakim pun pergi pula ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata: "Beri apalah daging kambing
10:7 ... kambing rendang ini barang segumpal." Sahut orang merendang itu, "Berilah harganya dahulu." Maka kata Khoja Buzurjumhur,
Kelahiran rendang tak luput dari pengaruh beberapa negara, misalnya bumbu-bumbu dari India yang diperoleh melalui para pedagang Gujarat, India. Karena diaduk terus-menerus, rendang identik dengan warna hitam dan tidak memiliki kuah.
Rendang kian termahsyur dan tersebar luas jauh melampaui wilayah aslinya berkat budaya merantau suku Minangkabau. Orang Minang yang pergi merantau selain bekerja sebagai pegawai atau berniaga, banyak di antara mereka berwirausaha membuka Rumah Makan Padang di seantero Nusantara, bahkan meluas ke negara tetangga hingga Eropa dan Amerika. Rumah makan inilah yang memperkenalkan rendang serta hidangan Minangkabau lainnya secara meluas.
Rendang juga menjadi makanan yang disajikan khusus untuk hari raya Idul Adha. Banyaknya daging kurban membuat masyarakat Padang berlomba-lomba memasak rendang.

Jenis


Rendang disajikan bersama daun singkong, telur dadar, dan kuah gulai dalam sajian Nasi Ramas Padang.
Dalam memasak daging berbumbu dalam kuah santan, jika ditinjau dari kandungan cairan santan, sebenarnya terdapat tiga tingkat tahapan, mulai dari yang terbasah berkuah hingga yang terkering: Gulai — Kalio — Rendang.[9] Dari pengertian ini rendang sejati adalah rendang yang paling rendah kandungan cairannya. Akan tetapi secara umum dikenal ada dua macam jenis rendang: rendang kering dan basah.

Rendang kering

Rendang kering adalah rendang sejati dalam tradisi memasak Minang. Rendang ini dimasak dalam waktu berjam-jam lamanya hingga santan mengering dan bumbu terserap sempurna. Rendang kering dihidangkan untuk perhelatan istimewa, seperti upacara adat, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan. Rendang kering biasanya berwarna lebih gelap agak coklat kehitaman. Jika dimasak dengan tepat, rendang kering dapat tahan disimpan dalam suhu ruangan selama tiga sampai empat minggu, bahkan dapat bertahan hingga lebih dari sebulan jika disimpan di kulkas, dan enam bulan jika dibekukan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa citarasa rendang asli Minang adalah yang paling lezat dan tiada dua — jauh berbeda dengan rendang di sejumlah kawasan Melayu lainnya.[6]

Rendang basah atau Kalio


Rendang di Belanda adalah kalio yang masih basah berkuah.
Rendang basah, atau lebih tepatnya disebut kalio, adalah rendang yang dimasak dalam waktu yang lebih singkat, santan belum begitu mengering sempurna, dan dalam suhu ruangan hanya dapat bertahan dalam waktu kurang dari satu minggu. Rendang basah berwarna coklat terang keemasan dan lebih pucat.
Rendang juga dikenal di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Rendang yang ditemukan di Malaysia lebih mirip kalio, berwarna lebih pucat dan basah dengan citarasa yang tidak begitu kuat. Rendang Malaysia yang disebut rendang kelantan dan rendang negeri sembilan memiliki perbedaan dengan rendang Indonesia. Proses memasak rendang di Malaysia, lebih singkat dan melakukan pengentalan bumbu dengan dicampur kerisik (kelapa parut yang disangrai), bukan dengan proses pemasakan dengan api kecil dalam waktu yang lama. Karena keterkaitan sejarah melalui kolonialisasi, rendang juga dapat ditemukan di Belanda, juga dalam bentuk kalio, tetapi umumnya disajikan sebagai salah satu bagian dari lauk-pauk Rijsttafel.

Kamis, 12 Maret 2015

Sejarah Rawon

Rawon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nasi rawon empal kisi, Banyuwangi, Jawa Timur
Rawon atau nasi rawon (karena selalu disajikan dengan nasi) adalah menu berupa sup daging dengan bumbu khas karena mengandung kluwek. Rawon, meskipun dikenal sebagai masakan khas Jawa Timur (seperti Surabaya), dikenal pula oleh masyarakat Jawa Tengah sebelah timur (daerah Surakarta).
Daging untuk rawon umumnya adalah daging sapi yang dipotong kecil-kecil. Bumbu supnya sangat khas Indonesia, yaitu campuran bawang merah, bawang putih, lengkuas (laos), ketumbar, serai, kunir, lombok, kluwek, garam, serta minyak nabati. Semua bahan ini (kecuali serai dan lengkuas) dihaluskan, lalu ditumis sampai harum. Campuran bumbu ini kemudian dimasukkan dalam kaldu rebusan daging bersama-sama dengan daging. Warna gelap khas rawon berasal dari kluwek.
Rawon disajikan bersama nasi, dilengkapi dengan tauge kecil, daun bawang, kerupuk udang, daging sapi goreng (empal) dan sambal.
Di Daerah Jawa Timur banyak dijumpai penjual Rawon, terutama rawon Pasuruan banyak yang terkenal.[1]

Jumat, 06 Maret 2015

Sejarah Gudeg

sejarah gudeg jogja

images
Gudeg, makanan khas jogja adalah salah satu makanan khas yang diminati oleh beberapa orang, rasanya yang khas dan manis membuat orang mudah ingat dengan makanan yang satu ini, gudeg adalah buah nangka muda (gori) direbus di atas tungku sekitar 100 derajat celcius selama 24 jam untuk menguapkan kuahnya. Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Gori atau nangka muda, adalah bahan baku utama gudeg yang lebih umum dikenal. Sebab di masa lalu, bahan baku ini sangat mudah diperoleh di kebun-kebun milik masyarakat Jogyakarta, dulu orang Jogya hanya mengenal satu jenis gudeg, yakni gudeg basah. Gudeg kering dikenal setelahnya, sekitar 57-an tahun dari saat sekarang ini. Hal ini setelah orang-orang dari luar Jogja mulai membawanya sebagai oleh-oleh. Keuntungannya, gudeg pun tumbuh sebagai home industry makanan tradisional di Jogja.
Banyak wisatawan yang berkunjung ke Jogja dan rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini. Tidak hanya rasanya tapi juga kemasan gudeg atau oleh-oleh khas Jogja ini dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Melengkapi sajian nasi gudeg akan lebih pas disertai minuman teh gula batu. Dijamin Anda akan ketagihan.
Warung gudeg yang berderet di sebelah selatan Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) ini memiliki sejarah panjang. Ibu Slamet adalah orang pertama yang merintis usaha warung gudeg di tahun 1942.
Beberapa tahun kemudian warung gudeg di daerah itu bertambah dua, yakni Warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang kemudian dikenal dengan sebutan Gudeg Yu Djum yang begitu terkenal sampai sekarang.
Ketiga warung gudeg tersebut mampu bertahan hingga 40 tahun. Sayangnya, tahun 1980’an Warung Campur Sari tutup. Baru 13 tahun kemudian muncul satu lagi warung gudeg dengan label Gudeg Ibu Lies. Dan sampai sekarang, warung gudeg yang berjajar di sepanjang jalan Wijilan ini tak kurang dari sepuluh buah.
Gudeg Wijilan memang bercita rasa khas, berbeda dengan gudeg pada umumnya. Gudegnya kering dengan rasa manis. Cara memasaknya pun berbeda, buah nangka muda (gori) direbus di atas tunggu sekitar 100 derajat celcius selama 24 jam untuk menguapkan kuahnya.
Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Ketahanan gudeg Wijilan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, karena merupakan gudeg kering, maka tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga 3 hari. Tak heran jika gudeg dari Wijilan ini sudah “terbang” ke berpabagi pelosok tanah air, bahkan dunia.
Harganya pun variatif, mulai dari Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-, tergantung lauk yang dipilih dan jenis kemasannya. Bahkan ada yang menawarkan paket hemat Rp 5.000, dengan lauk tahu, tempe, dan telur.
Seperti kemasan gudeg-gudeg di tempat lain, oleh-oleh khas Jogja ini dapat dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Yang lebih unik, beberapa penjual gudeg Wijilan ini dengan senang hati akan memperlihatkan proses pembuatan gudegnya jika pengunjung menghendaki.
Bahkan, di warung Gudeg Yu Djum menawarkan paket wisata memasak gudeg kering bagi Anda yang ingin memasak sendiri. Anda akan mendapat arahan langsung dari Yu Djum dengan logat khas jogja-nya yang kental.
Seharian penuh Anda akan belajar membuat gudeg, dari mulai merajang ‘gori’, meracik bumbu, membuat telur pindang, sampai mengeringkan kuah gudeg di atas api. Melengkapi sajian nasi gudeg Wijilan akan lebih pas disertai minuman teh poci gula batu. Dijamin anda akan ketagihan. Ada lagi yang unik, gudeg “darah”..
Lha itu kan gudeg rasa “Jawa”, kalau nggak suka rasa “Jawa” yang manis itu trus gimana ? Nggak usah kuatir bos, karena sekarang sudah banyak gudeg yang rasanya nasional, enak bagi siapa saja yang melahapnya. Rasanya gurih, walaupun masih ada sedikit sekali rasa manisnya, tetep rasanya mak nyus bagi lidah-lidah yang nggak terbiasa rasa manis.
Bagi anda yang ingin bersantap nikmat, Gudeng Permata barangkali bisa menjadi salah satu pilihan. Bukan hanya yang belum pernah menjajal menu gudeg, bahkan yang sudah terbiasa pun, Gudeg Permata layak untuk dicoba. Bukan saja soal rasa yang pas di lidah, tapi Gudeg Permata juga dikenal pas di kantong. Sehingga menu khas Jogja satu ini, relatif bisa diterima banyak kalangan, entah itu warga Jogja sendiri, ataupun warga luar kota yang sedang di Jogja.
Gudeg Bu Pujo atau dikenal dengan Gudeg Permata, karena lokasinya berada di sisi barat areal Gedung Bioskop Permata. Begitu terkenalnya Gudeg Permata sehingga banyak orang ‘gede’ yang menjadi langganan atau menyempatkan mampir untuk mencicipi Gudeg Permata. Sebut saja Sri Sultan HB X, almarhum Sri Paku Alam VIII, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Andi Mallarangeng yan kini menjadi Menpora, serta kalangan artis termasuk Rano Karno.
Ketika Bu Pujo masih ada, Sultan HB X sering memesan nasi Gudeg Permata. Jika Sri Sultan HB X atau keluarga kraton datang memesan, biasanya pembeli yang lain tahu diri. Demikian pula jika almarhum Sri Paku Alam VIII atau keluarganya memesan maka pembeli yang lain bersedia menunggu hingga giliran mereka tiba. Menu andalan Gudeg Permata sejak dulu hingga sekarang masih tetap sama, yaitu sambal krecek dan cita rasa gudeg. Sambalnya cukup pedas sehingga orang Sumatra pun menyukainya. Rasa gudegnya tidak terlalu manis seperti kebanyakan gudeg Jogja.
Bagi orang Jogja atau luar Jawa yang tidak suka masakan manis, mereka merasa cocok dengan Gudeg Permata. Saat ini, Bu Pujo sendiri sudah meninggal sehingga Gudeg Permata diteruskan oleh Wati, putri ketiga almarhum. Meskipun Bu Pujo sudah meninggal, namun rasa Gudeg Permata tidak berubah karena Wati mewarisi resep-resep jitu gudeg dari Bu Pujo. Wati memang dipercaya untuk meneruskan ‘Dinasti Gudeg Permata’ yang dirintis sang ibu.
Konon, Bu Pujo memulai usaha sebelum tahun 1951. Awalnya, ia membantu sang ibu, Marto Surip (almarhum) berjualan gudeg di Pasar Ketandan (utara Pasar Beringharjo). Sebelum ibunya (Marto Surip) meninggal, Bu Pujo berusaha berdikari dengan membuka usaha gudeg di Gedung Bioskop Luxor (kini bernama Gedung Bioskop Permata) sekitar tahun 1951. “Dapat tempat di sana juga atas izin pemilik Gedung Bioskop Luxor,” jelas Pak Pujo. Saat itu pembeli maupun langganannya belum banyak, suasananya pun masih sepi. Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, sebenarnya banyak penonton Bioskop Permata yang makan gudeg setelah nonton fi lm yang diputar pada pukul 19.00 dan 21.00 WIB. Lama-kelamaan, banyak orang yang suka dengan masakan gudeg dan sambal buatan Bu Pujo. Pembeli dan langganan hasil gethok tular (dari mulut ke mulut) tersebut mulai bertambah banyak sehingga usaha gudeg Bu Pujo pun semakin dikenal.
Masa keemasan gudeg Bu Pujo yang kini terkenal dengan trade mark Gudeg Permata terjadi sebelum krisis ekonomi. Keuntungan dari hasil jualan gudeg juga sudah bisa dinikmati. Terbukti, almarhum bisa menyekolahkan dua dari tiga putrinya di perguruan tinggi, memperbaiki rumah, bahkan menyisihkan sebagian uang untuk menabung. Setiap hari, kecuali Minggu, Gudeg Permata buka mulai pukul 21.00 hingga 01.00 dini hari. Menurut Wati, resep sukses Gudeg Permata selain menu gudeg yang khas Bu Pujo, ia juga sangat memperhatikan cara men-service pembeli dan langganan. Masa ‘panen’ rizki biasanya terjadi selama bulan Ramadhan, sehari setelah lebaran, dan tahun baru. Setiap hari, hanya dalam waktu lima jam, yaitu mulai pukul 21.00 hingga 01.00., bisnis gudegnya mampu menghabiskan 25 ayam kampung dan 200 telur itik. Dari situ bisa dibayangkan betapa banyaknya pembeli yang antre. Sedangkan kapasitas
tempat duduk lesehan yang tersedia mampu menampung sekitar 100 orang. Setiap hari, rata-rata Gudeg Permata melayani hingga 200 orang pembeli. Bahkan jika malam Minggu, pembelinya bisa lebih dari 200 orang.
 This entry was posted in Uncategorized by pusatgudegjogjadijakarta.